25 April 2019

Golput (Golongan Putih) di Indonesia

Di Indonesia, umumnya gerakan golput merupakan bentuk kekecewaan terhadap wakil partai politik maupun pasangan calon kepala pemerintahan yang dianggap tidak mempedulikan aspirasi mereka, sehingga abstain dalam pemilu. Konflik dan Kerjasama Politik

Istilah Golongan Putih (Golput) sendiri dicetuskan oleh Imam Waluyo menjelang Pemilihan Umum 1971 pada masa Orde Baru untuk “menembak” nama partai penguasa Golongan Karya (Golkar). Termasuk membuat logo yang mirip yaitu logo segi lima, tetapi di tengahnya kosong berwarna putih.

Sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru, di Balai Budaya Jakarta pada 3 Juni 1971, beberapa cendekiawan seperti Arief Budiman, Julius Usman, Imam Walujo, Husin Umar, dan Asmara Nababan mendeklarasikan sebuah gerakan moral dengan menyatakan tidak akan turut dalam pemilu. Sumber: Sejarah Munculnya Golongan Putih (Golput) di Indonesia

Namun kelompok Golput tersebut bukan untuk memboikot pemilu dan tidak mendorong orang pasif serta menjauh dari pemilu. Mereka justru meminta masyarakat aktif datang ke tempat pemungutan suara, akan tetapi mencoblos bagian kertas suara yang putih, bukan gambar partai salah satu kontestan.

Golongan putih (golput) di Indonesia pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral berisi seruan agar masyarakat menggunakan haknya dengan keyakinan. Siapa pun dipersilakan memilih atau tidak memilih. Kalau ada yang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih, bertindaklah atas dasar keyakinan itu pula. Mereka pun berpandangan bahwa golput tidak bisa dipidanakan.